Selasa, 03 Agustus 2010

Lego BUMN, Masih Jalan Pintas?

INILAH.COM, Jakarta – Seperti sebuah ritual, pemerintah kembali berencana melego aset BUMN miliknya tahun depan. Kekhawatiran kembali menyeruak. Aset negara pun makin tergadai.

Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana kembali menggelar privatisasi terhadap 8-10 perusahaan negara tahun depan. Selain melepas saham lewat initial public offering (IPO), privatisasi juga akan dilakukan melalui strategic sales, bahkan divestasi seluruh saham.

“Ada ekitar 8-10 BUMN yang akan diprivatisasi di 2011,” ujar Menteri BUMN Mustafa Abubakar di Jakarta, Selasa (3/8). Rencananya, yang akan diprivatisasi adalah sektor konstruksi, jasa pembiayaan, asuransi dan semen.

Masuk dalam daftar privatisasi di antaranya PT Bank Negara Indonesia (BNI) dan PT Bank Mandiri melalui rights issue. Demikian pula saham PT Krakatau Steel dan PT Garuda Indonesia yang dilepas sahamnya di pasar modal.

Pemerintah juga akan melepas kepemilikan saham (divestasi) pada tiga BUMN yaitu PT Primissima, PT Kertas Padalarang, dan PT Sarana Karya. Untuk sektor perkebunan, rencananya akan dibuat holding terlebih dahulu sebelum kemudian sahamnya dilepas.

Selain itu juga BUMN tekstil PT Primissima dan GKBI Investment, pabrik kertas PT Kertas Padalarang dan PT Kertas Kraft Aceh (KKA). Juga ada BUMN karya yakni PT Sarana Karya.

Program privatisasi sudah sejak lama menjadi sorotan bahkan penolakan dilakukan berbagai pihak dengan berbagai cara. Namun ibarat pepatah ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’, program ‘Indonesia for Sale’ itu jalan terus.

Pemerintah tampaknya masih tutup mata terhadap efek buruk privatisasi. Padahal dana dividen BUMN yang asetnya telah dilepas itu kini tak lagi masuk kantong pemerintah tetapi lari ke pihak asing.

Pasca-Soeharto dari era Presiden Habibie sampai Susilo Bambang Yudhoyono, program privatisasi terus dilakukan. BUMN dijadikan mesin untuk menutupi bolong-bolong defisit APBN sehingga menjerumuskan Indonesia ke dalam “pasar obral”.

Namun ironisnya, aset BUMN terus dijual sementara utang tak pernah berkurang. Artinya pemasukan dari privatisasi hanya menguap untuk belanja pemerintah. Program privatisasi seharusnya tak hanya mendukung sumber dana APBN tetapi juga menjadi katalis peningkatan sektor riil sehingga dapat menumbuhkan kinerja perekonomian nasional.

Indonesia seharusnya berkaca pada negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Lihat saja keuntungan BUMN di negara itu terus memberikan kontribusi besar bagi kas negara. Bahkan BUMN mereka melebarkan sayap bisnisnya termasuk membeli BUMN di Indonesia.

Sudah selayaknya, master plan untuk memprivatisasi BUMN dikaitkan dengan strategi pembangunan ekonomi. Jangan sampai rakyat tidak mendapatkan apa-apa dari BUMN yang telah dibangun selama puluhan tahun.

Rakyat seringkali harus kecewa dan hanya bisa mengurut dada ketika mendengar privatisasi. Karena toh, pada akhirnya aset pemerintah itu akan lepas ke pihak asing seperti yang terjadi selama ini. Meskipun proses divestasi ditawarkan kepada warga pribumi, namun karena keterbasan daya beli, tetap saja akhirnya jatuh ke pihak asing yang menawarkan harga lebih tinggi.

Apalagi setiap program privatisasi hendak digelar, pemerintah getol melakukan road show menjajakan aset Indonesia kepada investor asing seperti yang dilakukan baru-baru ini. Menurut Menteri BUMN Mustafa Abubakar, BUMN di sektor perbankan merupakan industri yang paling diminati oleh para investor tersebut.

“Salah satu sektor paling diminati mengingat terus meningkatnya kinerja bank-bank BUMN terutama setelah public offering,” paparnya. Ia mengatakan, investor sangat tertarik untuk mengetahui rencana privatisasi BUMN tahun ini dan tahun-tahun berikutnya. Termasuk besarnya porsi kepemilikan yang akan dilepas dan perkiraan harga.

Lalu sampai kapan penjualan aset pemerintah terus terjadi? Jangan sampai pemerintah dengan gampang menjual tanahnya ketika didesak kebutuhan sesaat. Tanpa berhitung bahwa tanahnya akan memiliki nilai jual berlipat-lipat jika dijual di kemudian hari. [mdr]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar